Dok. Kiai Sanusi (1904 M - 1974 M) |
Oleh: Jauharudin Tamam
Mengapa harus Ahlussunnah wal Jama’ah? Siapa Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)? Apa urgensi memilih Aswaja sebagai “jalan beragama”? Sebagai “Firqoh”, apakah Aswaja memiliki genealogi merujuk pada kanjeng nabi? Pertanyaan ini mungkin sudah berada di sebagian benak diri kita yang mengikuti diskusi ke-aswaja-an. Jika pertanyaan ini sudah bisa kita jawab, minimal diskusi kita yang membahas tokoh lokal dan terekam lewat beberapa naskahnya berusaha mempertahankan akidah aswaja menjadi jelas arahnya.
Kiai Sanusi (w.1974) merupakan tokoh yang tercatat sebagai pengasuh “Pondok Gede” Pesantren Babakan pasca kepemimpinan KH. Amin Sepuh (w. 1972).1 Kiai Sanusi dilahirkan di Desa Winduhaji, Kabupaten kuningan, Jawa Barat pada malam Jumat, 14 Rabi’ul Awal 1322 H. (bertepatan dengan 12 Januari 1904 M). Beliau merupakan putra ke tiga dari tujuh bersaudara, nama kecilnya Markab.2 Nasab beliau sampai ke Tumenggung Luragung keturunan Ariya Kemuning seorang tokoh pasundan yang mengislamkan penduduk daerah Kuningan dan sekitarnya dengan bantuan Sunan Gunung Jati.3
Kiai Sanusi hidup pasca Hijaz (Makkah-Madinah) dikuasai Ibnu Saud yang beraliran wahabi 1924-1925.4 Penaklukan Ibnu Saud atas kota sentral umat muslim dan “pusat otoritas pengetahuan” mempengaruhi peta ke-beragama-an umat muslim dunia. Ideologi wahabi seakan memiliki otoritas lebih tinggi di antara ideologi islam lainnya, beberapa tokoh muslim yang memiliki ideologi wahabi memiliki pengaruh yang kuat dalam menyebarkan pemahaman serupa dalam format baru.5
Gerakan neo wahabi (revivalisme progresif) menyebut diri mereka sebagai gerakan modernis. Kelompok ini digawangi oleh Jamaluddin Al Afghani (w.1987)6 yang pada gilirannya menginspirasi dua tokoh berpengaruh Mesir yakni Muhammad Abduh (w. 1905) dan Rasyid Ridho (w. 1935). Lewat “al manar” pemikiran modernis dua tokoh terakhir yang saya sebutkan di atas sampai ke Indonesia. Beberapa organisasi keagamaan berhaluan modernis tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia, Kiai Sanusi menyebutkan al Irsyad (1914), Peris (1923), Muhammadiyah (1912), disamping Ahmadiyah (Qodyan; red) dan Lahore disebutkan bersama tempat berkembangnya kelompok tersebut.7
Langkah Kiai Sanusi Membentengi Akidah Aswaja di Kecamatan Ciwaringin
Berdasarkan penelitian terakhir yang saya lakukan, Kiai Sanusi menggunakan beberapa pendekatan untuk merespon gerakan revivalisme progresif pada waktu itu. Pertama, menggunakan gerakan organisasi. Kiai Sanusi aktif dalam berorganisasi, beliau tercatat pernah menjadi bagian dari pengurus pengurus cabang Nahlatul Ulama Kabupaten Cirebon saat dipimpin oleh KH. Syatori Arjawinangun. Keaktifan Kiai Sanusi dalam ber-NU ditegaskan lewat catatan beliau yang tersimpan rapih di rumah Kiai Buser, seperti menetapkan pengurus NU desa Gintung pada.hari minggu 13 Maret 1955, menghadiri rapat NU di Rancaputat pada hari kamis 24 Maret 1955 dll.8 Selain aktif di NU, Kiai Sanusi membentuk Majelis Ulama se-kecamatan Ciwaringin pada 25 November 1958, dimana pada momentum ini Kiai Sanusi terpilih menjadi ketua dari oganisasi tersebut.9 Lewat Majelis Ulama, Kiai Sanusi bersama aparatur pemerintah desa dan kecamatan serta kiai-kiai melakukan safari dakwah di 14 masjid se-kecamatan Ciwaringin menusung tema “pentingnya memelihara amaliyah orang terdahulu”.
Kedua, pendekatan literasi; Kiai Sanusi memiliki lebih dari empat naskah yang membahas tentang “gerakan wahabi”. Diantaranya diagram gerakan wahabi (ditulis menggunakan 3 bahasa; arab, jawa pegon dan sunda pegon) dan kitab sajarah ilmu ushul fiqh. Karya tulis Kiai Sanusi menggunakan tiga bahasa merupakan strategi mendiseminaskan ajaran aswaja
Terhadap ragam mukhatab yang dihadapinya.
Ketiga, mengembangkan lembaga pendidikan; pesantren yang diberi nama At-Taqwa. Lewat pesantren, terlihat Kiai Sanusi berusaha sedang melakukan regenerasi, mencetak kader-kader aswaja masa depan yang matang secara intelektual. Selain itu ketika mempimpin “Pondok Gede” Kiai Sanusi pernah membubarkan seluruh santri mukim dan memberlakukan peraturan registrasi ulang, siapapun santri yang ingin kembali mondok di Babakan wajib mengikuti organisasi Nahdlatul Ulama, siapapun yang tidak mengindahkan peraturan ini maka tidak lagi tercatat menjadi bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.[1]
Terakhir, kiranya apa yang menjadi bahan diskusi kita hari ini, bagi saya pribadi minimal mampu memantik kembali semangat kita sebagai warga nahldiyin untuk mengikuti jejak pendahulu dalam melestarikan ajaran ahlussunnah wal jamaah yang berkarakter tawassuth (sikap tengah-tengah/moderat), tawazzun (seimbang/proporsional), i’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (menghargai perbedaan/toleransi). Menampilkan wajah islam yang ramah bukan islam marah, islam moderat, islam yang me-rahmat-i semesta.
*Disampaikan pada forum diskusi bulanan Pengurus Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Ciwaringin, 29 Oktober 2021
Daftar Pustaka
1 Lihat catatan Kiai Sanusi, Hari Tasjakur/Peringatan Dua Setengah Abad, (Babakan Ciwaringin, 1966). Lihat juga KH. Zamzami Amin dkk, Baban Kana: Sejarah Pesantren Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedongdong 1802-1919 (Bandung: Humaniora, 2015) h. 158.
2 Muhammad Mudzakir, KH. Kakek dan Guruku Al-Maghfurlah KH. M. Sanusi. Babakan Ciwaringin Cirebon. h. 16.
3 Lihat Rahmat, Kisah Leluhur Luragung Edisi Teks dan Terjemahan, h. 3-4. Lihat Juga Edi Suhardi Ekajati, Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah Hingga Terbentuknya Kabupaten. h. 45-47.
4 Lihat https://www.nu.or.id/post/read/39479/komite-hijaz. Diakses pada 29 Oktober 2021 pukul 00:33
5 Wahabisme dalam dunia akademis termasuk dalam kelompok revivalisme regresif; pola gerakan “pemurnian” dalam dunia Islam yang berorientasi pada masa lalu, dengan menganggap potret ideal prilaku keagaman merujuk pada generasi awal umat muslim dan tidak memberikan ruang terhadap modernisme barat, kelompok ini juga dikenal dengan “madzhab Najd”. Disamping revivalisme regresif, ada revivalisme progresif; pola gerakan yang berorientasi pada masa depan dengan optimisme dan cenderung terbuka dengan “kemajuan” (ide modernisme) dunia barat, kelompok ini seringkali diidentikkan dengan “madzhab Mesir” , KH.Muhammad Faqih bin Abdul Djabbar Maskumambang, an-Nushush al-Islamiyah fi ar-Rad ‘ala Madzhab alWahabiyyah; Menolak Wahabi Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi; Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qadir at-Tilimsani, Penerjemah KH. Abdul Aziz Masyhuri (Bogor: Arya Duta, 2016), h. 63-111.
6 Lihat Catatan Kiai Sanusi tentang genealogi gerakan wahabi ditulis pada tahun 1969
7 Lihat diagram Kiai Sanusi
8 Sumber pesan singkat (whatsapp) Kiai Buser (cucu Kiai Sanusi yang menempati rumah pusaka) pada Selasa 26 Oktober 2021
9 Wawancara dengan Kiai Buser pada tanggal 30 Oktober 2018 berdasarkan catatan harian Kiai Sanusi tentang Majelis Ulama. Menariknya pembentukan Majelis Ulama se-kecamatan Ciwaringin jauh sebelum Orde Baru menggunakan nama yang sama untuk organisasi berskala Nasional pada 26 Juni 1975 di Jakarta.
[1] Keterangan ini disampaikan oleh KH. Zamzami Amin dalam sambutan tasyakur terpilihnya KH.Mustofa Rajid sebagai ketua PCNU kota Cirebon pada hari rabu 13 Oktober 2021
Editor: kholil Baehaqi
Pimpinan Redaksi: M. Arif Al-Bonny