Ketika Syaikh Abdul Qadir Jailani ditanya apa yang membuatnya mencapai maqam spiritual yang tinggi, ia menjawab “Kejujuran yang aku janjikan kepada ibuku”. Beliau kemudian menceritakan pengalamannya,
Suatu hari, di malam Idul Adha, aku berangkat ke padang untuk mengolah lahan. Dan ketika aku berjalan di belakang seekor sapi, tiba-tiba sapi itu menoleh ke arahku kemudian menatapku dan berkata, “Kau bukan dicipta untuk ini!” Aku menjadi demikian ketakutan lalu segera lari ke rumah dan naik ke atas atap rumahku yang datar. Saat itu aku melihat sekelompok pengembara berkumpul di padang ‘Arafah.
Aku mendatangi ibuku, yang saat itu telah menjadi seorang janda dan meminta izin kepadanya, “Kirimkanlah aku kepada jalan kebenaran, izinkanlah aku untuk pergi ke Baghdad demi menuntut ilmu, untuk bersama orang bijak dan mereka yang dekat dengan Allah”. Ibuku bertanya ada apa gerangan hingga aku tiba-tiba meminta hal yang demikian. Lalu aku menceritakan apa yang telah terjadi kepadaku. Ibuku menangis, lalu ia mengeluarkan delapan puluh keping uang emas yang merupakan satu-satunya warisan dari ayahku. Ia menyisihkan empat puluh keping untuk adikku. Lalu menyimpan empat puluh keping sisanya di dalam lipatan ketiak jubahku. Kemudian beliau mengizinkan aku pergi, tapi sebelumnya dia meminta aku untuk selalu jujur dan berkata yang benar, apapun yang terjadi. Ia melepas kepergianku dengan doa,
“Semoga Allah melindungi dan membimbingmu, wahai anakku. Aku melepas diriku dari seseorang yang sangat kucintai demi Allah. Aku tahu bahwa aku tidak akan melihatmu lagi sampai hari kiamat.”
Kemudian aku bergabung dengan serombongan kecil pengembara menuju Baghdad. Ketika kami melintasi kota Hamadan, segerombolan perampok berkendara kuda sejumlah 60 orang menyerang kami. Mereka menjarah apapun yang setiap orang miliki. Salah satu dari mereka menghampiriku dan bertanya, “Anak muda, apa harta yang kau miliki?”. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh keping emas. Dia berkata, “Di mana?” Aku menjawab, “Di dalam lipatan ketiak jubahku”. Dia malah tertawa dan meninggalkanku. Lalu perampok yang lainnya datang dan menanyakan hak yang sama, lagi-lagi aku katakan yang benar apa adanya. Dia pun meninggalkanku sendiri. Kemudian sepertinya mereka menceritakan tentang hal ini kepada pimpinan mereka karena mereka memanggilku ke tempat dimana mereka membagi-bagi barang rampasan yang ada. Si pemimpin itu bertanya apakah aku memiliki barang berharga. Aku katakan bahwa aku memiliki 40 keping emas yang dijahit di dalam lipatan ketiak jubahku. Dia lalu mengambil jubahku dan merobek bagian lipatan ketiak dan menemukan keping-keping emas itu. Dia bertanya kepadaku dengan terheran-heran, “Kau sebenarnya bisa menyelamatkan uangmu. Lantas apa yang membuatmu mengatakan kepada kami dimana ia disembunyikan?” Aku menjawab, “Aku harus mengatakan yang sebenarnya apapun yang terjadi sebagaimana yang telah aku janjikan kepada ibuku” Ketika pimpinan perampok mendengar hal itu, ia pun menangis dan berkata, “Aku telah mengkhianati janjiku kepada Dia Yang menciptakanku. Aku telah merampok dan membunuh. Apa yang akan terjadi kepadaku?” Kemudian para perampok lain yang melihatnya (pun menjadi tersentuh) dan berkata, “Kau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam melakukan dosa, sekarang pimpinlah kami di jalan pertaubatan!” Maka keseluruhan 60 orang perampok itu menggenggam tanganku dan meminta ampunan atas dosa-dosa mereka.
(Dari buku Secrets of Secrets, Abdul Qadir Jailani, interpretasi oleh Syeikh Tosun Bayrak al -Jeharri al -Helveti)